Selasa, 08 Maret 2011

artikel " Disampaikan Dalam Seminar Sehari Wellness Clinic Oktroi Plaza, 2 September 2006 "


JALAN KAKI, CARA MUDAH DAN MURAH
MENGONTROL HIPERTENSI
Oleh
Dr. Deddy Tedjasukmana, SpKFR-K, MARS


PENDAHULUAN

            Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian, karena tingginya angka prevalensi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkannya berupa komplikasi kardiovaskular, gagal jantung dan stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas .
Gaya hidup modern cenderung menyebabkan keadaan nervous dan cemas yang terus menerus dan dapat meyebabkan stress berkepanjangan yang pada ahirnya dapat menggangu kesehatan. Pola makan yang tidak sehat dimana seseorang banyak mengkonsumsi makanan lemak  akan menambah daftar tingginya penderita hipertensi .
            Tekanan darah yang tinggi merupakan beban bagi pembuluh darah arteri terutama  pembuluh darah otak, jantung dan ginjal. Oleh karena itu individu dengan tekanan darah  tinggi memiliki kemungkinan 1 sampai 3 kali lebih tinggi menderita penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke dibandingkan dengan mereka yang memiliki tekanan darah normal. Demikian juga  kapasitas latihan penderita hipertensi akan berkurang kira kira sepertiganya dibandingkan dengan usia yang sama namun memiliki tekanan darah normal.
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah pengendalian tekanan darah untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Ada 2 hal yang biasa digunakan dalam pendekatan pengelolaan tekanan darah tinggi yaitu terapi farmakologi dengan pemberian obat dan terapi non farmakologi berupa olah raga teratur, diet makanan  rendah garam, pengelolaan stres, modifikasi gaya hidup dan lain-lain.
Tekanan darah dapat turun secara efektif dengan menggunakan obat anti hipertensi, namun efek samping penggunaan obat  jangka panjang harus selalu dalam evaluasi dokter. Terapi non farmakologi direkomendasikan sebagai penetalaksanaan hipertensi ringan dan sedang yang berhasil menurunkan tekanan darah, diantaranya  dengan latihan serta pengaturan aktivitas fisik dan tehnik relaksasi.
            Terapi non - farmakologi pada hipertensi harus dimulai dengan modifikasi gaya hidup sebelum obat antihipertensi diberikan , aktivitas fisik sangat dianjurkan sebagai bagian dari modifikasi gaya hidup dan atau sebagai tambahan terapi farmakologi, karena berbagai penelitian telah membuktikan bahwa  latihan fisik yang teratur bermanfaat bagi pengendalian tekanan darah secara bermakna .
Harberg melakukan study meta-analisis pada 25 penelitian longitudinal penderita hipertensi yang melakukan latihan fisik menunjukkan penurunan tekanan darah rata-rata sistolik 10,8 mmHg dan diastolik  8,3 mmHg. Penelitian Spataro  melaporkan dari 118 publikasi studi mata-analisis yang  menyatakan adanya penurunan takanan darah sistolik 8 mmHg dan diastolik 5 mmHg pada penderita hipertensi dengan  melakukan latihan dinamis secara rutin . Kelemen et al (1990), membuktikan bahwa pasien dengan hipertensi ringan yang melakukan program latihan secara teratur tidak membutuhkan tambahan obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya.

MENGAPA  HIPERTENSI DAPAT TERJADI ?          
               Sampai sekarang pengetahuan tentang patogenesis primer terus berkembang karena belum didapat jawaban memuaskan yang dapat menerangkan terjadinya peningkatan tekanan darah. Berbagai faktor dapat mempangaruhi tekanan darah diantaranya curah jantung dan tahanan perifer. Faktor lain yang mempengaruhi hipertensi  selain faktor hemodinamik (beban tekanan dan volume), faktor genetik/lingkungan (umur, kelamin, ras, asupan garam, minuman mengandung alkohol) dan faktor tropika (angiotensin II, katekolamin ) dan lain-lain.
               Sepanjang hari tekanan darah berubah tergantung pada aktivitas tubuh, latihan dan stres. Jika tekanan darah meningkat dengan tajam dan kemudian tetap tinggi maka orang tersebut dapat dikatakan mempunyai tekanan darah tinggi atau hipertensi.
              Tekanan darah terdiri dari tekanan darah sistolik yang merupakan tekanan darah tertinggi yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel/bilik jantung dan tekanan darah diastolik yaitu tekanan darah terendah yang disebabkan oleh relaksasi ventrikel.
               Tekanan darah merupakan hasil perkalian ”curah jantung” dengan” tahanan pembuluh darah perifer”. Peningkatan salah satu faktor diatas dapat menyebabkan hipertensi. Sebaliknya intervensi terhadap curah jantung atau tahanan pembuluh darah perifer dapat menurunkan tekanan darah .
               Peningkatan curah jantung dipengaruhi oleh peningkatan kontraktilitas otot jantung, denyut nadi, aliran balik vena /venous return dan lain-lain, sedangkan tahanan pembuluh darah perifer ditentukan terutama oleh tonus otot polos arteriol. Peningkatan tahanan perifer  akan menyebabkan penambahan beban jantung yang akan menyebabkan pembesaran bilik kiri jantung  sebagai proses kompensasi. Pembesaran bilik kiri jantung yang terjadi pada hipertensi mula-mula merupakan proses adaptasi akan tetapi dengan penambahan beban yang berlangsung terus menerus hal ini akan merupakan proses abnormal, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya pembesaran bilik kiri jantung berbanding langsung dengan  hipertensi.
               Beberapa hal harus kita perhatikan akibat komplikasi yang mungkin timbul dari penyakit hipertensi seperti penyakit jantung koroner dan gagal jantung akibat hipertensi jangka panjang, kebutaan akibat kerusakan pada retina mata, gagal ginjal akibat fungsi ginjal terganggu,  kerusakan pada pembuluh darah otak  dan lain lain .

KLASIF IKASI HIPERTENSI MENURUT JNC 7 (2003)  :
Menurut Joint National Committee 7 ( JNC 7 } , pembagian hypertensi ada 4 kelompok :
    Klasifikasi                           Sistolik  ( mmHg )          Diastolik ( mmHg )
Ø  Normal                 :          < 120                               < 80
Ø  Prehipertensi         :          120 – 139                        80 – 90
Ø  Hipertensi Stage 1 :         140 – 159                        90 – 99
Ø  Hipertensi Stage 2 :            ³ 160                               ³ 100

               Menurut kriteria ini tekanan darah 120/80 mmHg adalah bukan tekanan darah yang normal, tetapi prehipertensi. Jadi jika ada setengah dari jumlah populasi dengan tekanan darah 120/80 mmHg atau lebih, yang penting harus diberikan edukasi tentang gaya hidup/lifestyle yang sehat  guna mencegah hipertensi sejak awal.
               Menurut para ahli pengobatan non farmakologi sama pentingnya dengan pengobatan farmakologi terutama pada hipertensi derajat 1, dimana terapi non farmakologi dapat mengendalikan tekanan darah sehingga pengobatan farmakologi tidak diperlukan atau pemberiannya dapat ditunda. Dan jika obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologi dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik.

MANFAAT LATIHAN EROBIK JALAN PADA HIPERTENSI
              Latihan erobik jalan telah dibuktikan dapat mencegah hipertensi dan menurunkan tekanan darah, sehingga dapat menurunkan angka kematian pasien yang mempunyai resiko tinggi penyakit jantung koroner bila dilakukan teratur dan terukur sesuai dosis latihan yang dianjurkan.
               Dalam latihan akan terjadi proses adaptasi yaitu terjadi perubahan cepat selama dan setelah latihan dalam waktu singkat dan terjadi kondisi perubahan adaptif yang menyebabkan seseorang dapat memperbaiki fungsi selama latihan dalam waktu singkat selanjutnya.
               Adaptasi dalam latihan dapat terjadi secara sentral dan perifer, fungsi sentral berupa perubahan curah jantung yang demikian cepat dan dinamis sedangkan fungsi perifer melibatkan perubahan seluler dalam sistim sirkulasi, vaskularisasi otot, enzim oksidatif serta kemampuan mengoksidasi asam lemak sebagai sumber energi. Latihan erobik adalah latihan yang dilakukan kelompok otot otot besar secara ritmis, berulang dengan beban submaksimal dan mengkonsumsi oksigen sesuai yang diperlukan tubuh. Bagaimana mekanisme latihan erobik dapat menurunkan tekanan darah? Hal ini dapat diduga  karena terjadinya perubahan curah jantung (stroke volume) - isi sekuncup (cardiac output) dan perubahan tahanan pembuluh darah perifer.
                Bagaimana mekanisme aktivitas fisik dapat merangsang perubahan tekanan darah ? Hal ini diterangkan dengan adanya  pemulihan denyut jantung akibat pengaruh mekanisme sentral dimana terjadi pelepasan perintah inhibisi dari korteks motorik kepusat parasimpatik sehingga memperbaiki pemulihan denyut jantung  bagi mereka yang melakukan latihan secara rutin dan teratur.
               Terhadap sistim sirkulasi latihan fisik akan meningkatkan aliran darah yang bersifat pulsatif dan meningkatkan produksi NO (nitric okside) yang merupakan anti oksidan dalam tubuh, sehingga  secara paralel meningkatkan produksi EDRF (endotelial derive relaxing factor) zat yang menyebabkan pembuluh darah menjadi relaksasi dan dilatasi.
               Jadi dapat dipahami  bahwa makin terlatih seseorang  akan terjadi perubahan curah jantung dan tahanan pembuluh darah perifer yang lebih baik  sehingga denyut nadi istirahat semakin rendah dan menurunkan tekanan darah secara significan.
  Pascatello dkk,  melaporkan bahwa penurunan tekanan darah setelah latihan erobik berhubungan dengan menurunnya tekanan darah rata-rata dalam 24 jam, dan adanya penurunan takanan darah setelah latihan secara umum tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat tetapi harus dilakukan secara kumulatif dan berulang. Dengan demikian diharapkan Letihan erobik (exercise training) dapat menurunkan tekanan darah secara bermakna.
               Hal lain yang terjadi akibat latihan dapat mengurangi deposit lemak sentral yang merupakan variabel terkait dengan hipertensi, menurunkan kadar katekolamin dalam serum dan menekan aktifitas renin plasma sehingga  tekanan darah dapat menurun.
               Aktiivitas fisik dan olah raga/latihan dikelompokkan berdasarkan kriteria Borg yaitu latihan ringan, sedang, berat sedangkan bila dikaitkan dengan produksi energi/keringat ( ringan: tak ada keringat, sedang : berkeringat, Berat : bercucuran keringat ).
               Berdasarkan pengalaman empiris ditetapkan bahwa  apabila kita berjalan 30 – 50 m permenit merupakan olah raga ringan tanpa keringat, berjalan 100 m permenit  dengan berkeringat merupakan olah raga sedang dan berjalan /berlari diatas 100 m permenit dengan mengeluarkan banyak keringat merupakan olah raga berat .

DOSIS LATIHAN BERJALAN
               Pasien hipertensi sebelum melakukan latihan memerlukan penilaian mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan melakukan uji latih, hal ini dimaksudkan agar aman dalam melakukan latihan dan memperoleh hasil sesuai yang diharapkan.

Ø  Anamnesis  :
Dimulai dengan menanyakan keluhan pasien saat ini kemudian obat obatan yang diminum, riwayat keluarga, kebiasaan olah raga/latihan, merokok, riwayat penyakit jantung, penyakit paru, masalah neuromuskuloskeletal dan
Ø  Pemeriksaan fisik :
Dilakukan dengan seksama meliputi pemeriksaan berat badan, tinggi badan, tekanan darah, nadi, sistim kardiopulmoner, neuromuskuler dan muskuloskeletal .
Ø  Pemeriksaan penunjang
Beberapa yang diperlukan seperti laboratorium (gula darah, kolesterol, trigliserida,           pemeriksaan fungsi hati SGPT<SGOT, fungsi ginjal Ureum, creatinin) pemeriksaan EKG  dan lain-lain.
Ø  Uji latih
Pemiriksaan uji latih dilakukan dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks. Biasanya untuk penilaian  awal cukup dilakukan uji latih berjalan 6 menit.
Uji latih berjalan 6 menit  suatu uji latih submaksimal yang dapat menggambarkan      kapasitas erobik pasien, dan dari hasil uji latih ini dapat digunakan sebagai standar untuk menentukan berapa dosis awal latihan seseorang untuk memulai latihan jalan .
Ø  Peresepan latihan :
Latihan erobik jalan yang ritmik dan dinamik menggunakan grup otot besar  sangat dianjurkan untuk semua pasien hipertensi .
Menurut American college of sports medicine ( ACSM ) olah raga jalan erobik yang dapat  memberikan hasil yang diharapkan bagi pasien hipertensi  harus memenuhi kriteria dibawah ini :
- Frekuensi   :  3 – 5 kali perminggu
- Intensitas   :   50 – 85 % HR Max
                               terdiri dari Intensitas ringan 50 – 60 % HR Max
                                               Intensitas sedang  60 – 85 % HR Max
- Durasi       :   30 – 60 menit/sesi latihan .
- Target waktu latihan erobik jalan dilakukan selama 4 – 6 bulan .
 
Latihan yang diberikan dibagi menjadi 3 fase yaitu :
  1. Fase pemanasan, bertujuan untuk meningkatkan respon sirkulasi dan suhu tubuh serta menurunkan resiko cedera muskuloskeletal, lamanya kurang lebih 5 – 10 menit yang terdiri dari latihan fleksibilitas 
  2. fase latihan inti , ditujukan untuk menghasilkan proses adaptasi, berlangsung simultan selama 20 – 30 menit 
  3. Fase pendinginan dilakukan tappering of intensitas latihan diturunkan, fase ini bertujuan mencegah pulling vena di ekstremitas yang dapat mengakibatkan menurunnya pengisian ventrike jantung dan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung .

KESIMPULAN
1.      Hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan  angka prevalensi tinggi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas  sehingga menurunkan kualitas hidup.
2.      Beberapa faktor resiko dapat sebagai pemicu terjadinya hipertensi seperti pola makan yang salah, kurang aktivitas, stres dan malas berolah raga
3.      Latihan erobik jalan secara teratur dapat menurunkan tekanan darah, disamping  perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok, mengelola cemas dan stres dapat membantu menurunkan tekanan darah.
4.      Pemeriksaan fisik sebelum latihan dan melakukan uji latih penting untuk menentukan dosis awal latihan agar hasil yang didapat  sesuai dengan yang diharapkan.
5.      Ahirnya dengan latihan erobik jalan teratur, dinamis dan ritmik sesuai  dosis latihan, dapat mengontrol tekanan darah  secara bermakna. Selamat mencoba !!!.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Gordon NF, Hypertension  In Exercise management for persons with chronic diseases and  disabilities, ACSM , Human Kinetics, 1997, p 59 -63.
2.      Guidelines For Cardiac Rehabilitation and Secondary prevension Program , Thrird edition, 1999, Human Knetics press, p 220 .
3.      Sharabi Y ,The significance of hypertensive response to exercise as a predictor of hypertension and cardiovascular disease , J Hum Hypertension 2001, p 253 – 6 .
4.      Spataro JA, The effects of exercise on human hypertension , a meta-analysis studie, Med scienties sperts exercise, 1991, p 83
5.      Pescatello LS , short term effectof dynamic exercise on arterial blood pressure, Circulation ,1991, 104 : p 147 – 51 .
6.      Kelemen MH, Exercise training combined with anti hypertensive drug therapy , effect on lipids, blood pressure and ventricular mass, 1990, 263 : p2766 – 71 .
7.      Ferrier KC,et al, Hypertension, In Journal of The American Heart Association, http : // hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/38/2/222
8.      Kokkinas PF,PhD,et al, Effect of Regular Exercise on Blood Pressure and left Ventricular Hypertrophy in African American Men with Severe Hypertension, The New England Journal of Medicine, Nov 30,1995
9.      Franklin BA, PhD, et al, Exercise and Hypertension In American College of Sport Medicine and Science in Sport Exercise. 
10.  Kusmana D, Aktivitas Fisik yang teratur komponen hidup sehat dalam pencegahan dan Rehabilitasi Jantung , Pidato Pengukuhan Guru Besar,  2003, hal 7 – 15


















Rabu, 23 Februari 2011

Journal Reading

“ Efektifitas Rehabilitasi Jantung Out Pasien Terhadap Pasien-Pasien Prognosis Resiko Rendah Setelah Infark Miokard Akut Pada Periode Intervensi Primer “

Tsukasa Kamakura, MD; Rika Kawakami, MD; et all, Department of Cardiovascular Medicine, National Cerebral and Cardiovascular Research Center, Suita, Japan; released online December 14,2010

oleh : Dr. Deddy Tedjasukmana , SpKFR-K , MARS .
         Dr. Linda Merpati Yanti

LATAR BELAKANG
Rehabilitasi jantung merupakan suatu intervensi yang komprehensif meliputi: Uji latih dengan supervisi medis, mengontrol faktor-faktor resiko, edukasi dan konseling psikososial pada pasien.
Suatu penelitian meta-analisis terbaru tentang pengaruh latihan rehabilitasi jantung pada pasien-pasien CAD memberikan hasil yang signifikan secara statistik mengurangi angka kematian akibat penyakit jantung 20% hingga 32% terhadap pasien-pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung dibandingkan dengan pasien yang hanya mengikuti perawatan medis standar.
Panduan dari ACC/AHA (American College of Cardiology/American Heart Association dan JCS (Japanese Circulation Society) merekomendasikan penggunaan rehabilitasi jantung setelah AMI, kelas I.
Keefektifan dan pentingnya Rehabilitasi Jantung fase II (outpatient/OPCR) masih menyisakan tanda tanya pada pasien-pasien AMI dengan prognosis resiko rendah.

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengklarifikasi prevalensi faktor-faktor resiko koroner (CRF) dan untuk menjelaskan keefektifan dari program OPCR selama 3 bulan terhadap pasien-pasien prognosis resiko rendah setelah menderita AMI.

METODOLOGI
637 pasien AMI yang berpatisipasi pada penelitian ini, yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang merupakan resiko rendah dan yang bukan resiko rendah.
Kriteria inklusi untuk masuk kelompok resiko rendah adalah :
• Usia dibawah 65 tahun.
• Killip class I
• Reperfusinya berhasil
• Kadar CK dalam darah <6000U/L • LVEF nya ≥ 40% 219 pasien resiko rendah diikutsertakan dalam program OPRC selama 3 bulan, pada akhir proram dihitung kepatuhan pasien dalam mengikuti proram ini. Kemudian pasien dibagi dalam 2 kelompok lagi, dimana kelompok partisipan aktif bila mengikuti program ≥ 20 kali atau >2 kali/minggu. Sedangkan yang bukan partisipan aktif bila mengikuti program ≤ 5 kali atau ,0,5 kali/minggu. (gambar 1)



Figure 1. Schematic of study protocol. AMI, acute myocardial infarction; CK,
serum concentration of creatine kinase; LVEF (left ventricular ejection fraction)

Pasien dengan angina atau perubahan pada gambaran EKG saat latihan level rendah (tes berjalan), gagal jantung yang tidak terkontrol, dan aritmia berat.
Proram Rehabilitasi Jantung
Program dimulai 1 minggu setelah serangan AMI dan dilanjutkan hingga 3 bulan keluar dari rumah sakit. Komponen program berupa sesi latihan dengan supervisi (berjalan, ergometer sepeda, dan kalistenik) serta edukasi. Intensitas latihan diberikan secara individual berkisar antara 50-60% dari heart rate, atau heart rate anaerobic threshold (AT) pada level maksimal hasil symptom-limited test, atau level 12-13 (little hard) atau level 6-20 skala Borg’s.
Latihan awal dengan supervisi selama 2 minggu, berikutnya latihan dirumah dikombinasi dengan latihan supervisi 1-2 kali seminggu selama 10 minggu. Latihan dirumah berupa jalan cepat dengan peresepan heart rate selama 30-60 menit, 3-5 kali seminggu.
Pasien juga diberikan kelas edukasi 4 kali seminggu dengan materi yang diberikan tentang penyakit jantung koroner, pencegahan komplikasi, asupan makanan, berhenti merokok, obat-obatan, dan aktifitas fisik yang disampaikan oleh dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, dan instruktur latihan. Sebagai tambahan pasien juga mendapat konseling secara pribadi mengenai peresepan latihan, pencegahan komplikasi, dan aktifitas kehidupan sehari-hari oleh dokter dan perawat pada saat keluar dari rumah sakit dan pada akhir 3 bulan proram.
Pemeriksaan laboratorium darah dilaksanakan pada awal dan pada akhir program.
Kapasitas latihan awal dan akhir program dinilai dengan symptom-limited tes. Setelah 2 menit istirahat di atas ergometer sepeda dalam posisi tegak, pasien kemudian mulai mengayuh sepeda dengan intensitas 0 watt selama 1 menit (pemanasan), selanjutnya diatur suatu “ incremental exercise test” dengan dosis 10-15 W/menit sampai terjadi kelelahan.
12 lead EKG terus dimonitor, tekanan darah diukur tiap menit dengan sphygmomanometer .
Analisa gas ekspirasi menggunakan alat AE-300 (Minato Co, Osaka, Japan).

HASIL

Karakteristik pasien (tabel 1) menunjukkan pasien resiko rendah lebih muda usianya dibandingkan dengan pasien yang bukan resiko rendah. Tidak ditemukan pasien dengan gagal jantung, reperfusi yang gagal, dan LVEF<40%, tetapi memiliki kadar CK dan kontrasi BNP yang rendah pada kelompok resiko rendah. Sedangkan hiperlipidemia, kebiasaan merokok, dan CRF (Coronary Risk Faktor) >3 signifikan lebih tinggi pada kelompok resiko rendah dibandingkan dengan yang bukan resiko rendah.



Karakteristik pasien (tabel 2) menunjukkan partisipan yang aktif lebih tua dibanding yang non aktif. Kadar CKnya sedikit lebih rendah, LVEF lebih tinggi. Juga terdapat perbedaan pasien laki-laki, perokok, dan penggunaan β-bloker yang signifikan lebih tinggi pada partisipan yang aktif dibandingkan dengan yang non aktif, namun kapasitas latihan tidaklah berbeda bermakna antara kedua kelompok, begitu juga dengan penggunaan obat DM dan statin. Secara keseluruhan karateristik kedua kelompok hampir sama, kecuali frekeunsi keikutsertaannya dalam program OPCR ini.



Gambar 2 membandingkan parameter sebelum dan sesudah 3 bulan mengikuti program OPCR antara partisipan aktif dengan yang tidak aktif. Partisipan yang aktif memperlihatkan perbaikan yang signifikan dalam BMI, AT, kolesterol total, dan trigliserida. Sedangkan peningkatan VO2max, kadar HDL, sama-sama signifikan pada kedua kelompok. Tekanan darah sistolik dan diastolik serta trigliserida mengalami perburukan yang bermakna pada kelompok yang tidak aktif. Kadar LDL sama-sama mengalami penurunan yang bermakna.



DISKUSI
Temuan utama pada penelitian ini adalah bahwa pasien AMI dengan prognosis resiko rendah memilki prevalensi yang tinggi terhadap kebiasaan merokok, dyslipidemia, dan multiple CRF (faktor resiko koroner yang lebih dari 3), dibandingkan dengan yang bukan resiko rendah, dan bahwa pasien AMI dengan prognosis resiko rendah yang merupakan partisipan aktif dalam program OPCR berhubungan dengan perbaikan dalam profil CRFnya (seperti: tekanan darah, dyslipidemia, dan obesitas) dan perbaikan dalam kapasitas latihan. Penelitian ini juga menyimpulkan dengan berpartisipasi aktif dalam program OPCR setelah menderita AMI pada pasien prognosis resiko rendah secara klinis bermanfaat seperti perbaikan modifikasi CRF dan fungsi fisiknya.
Implikasi Klinis
Masih belum diketahui apakah perbaikan profil CRF dan kapasitas latihan yang didapat dengan berpartisipasi aktif dalam program OPCR dapat menuju kearah perbaikan prognosis jangka panjang terhadap pasien AMI dengan prognosis resiko rendah.
Pada penelitian ini ditemukan perbedaan yang signifikan antara parisipan aktif dan yang tidak aktif dalam program OPCR dalam hal BMI, kolesterol total, trigliserida, dan tekanan darah, tetapi tidak dalam hal kadar LDL maupun glukosa. Mungkin ada anggapan bahwa pengaruh BMI, kolesterol total, trigliserida, dan tekanan darah tidaklah kuat dibandingkan dengan LDL dan glukosa. Namun Nakatani dan kawan-kawan melaporkan bahwa diagnosa sindroma metabolik, dari kombinasi BMI, HDL, trigliserida, tekanan darah, kadar glukosa sewaktu, merupakan prediksi yang independen terhadap kematian akibat penyakit jantung dan infark miokard non fatal pada pasien-pasien setelah menderita AMI di Jepang.
Dalam penelitian ini jumlah partisipan yang aktif hanya 24% (52 dari 219 pasien) dalam kelompok resiko rendah. Untuk mengurangi resiko jangka panjang CAD pada pasien AMI dengan prognosis resiko rendah ini diperlukan jumlah partisipan yang lebih banyak. Dari survei nasional JCS 526 pasien AMI di Jepang, 92% menjalani PCI, tetapi hanya 9% mengikuti OPCR. Untuk meningkatkan jumlah partisipan OPCR, penting untuk meningkatkan jumlah fasilitas rehabilitasi jantung dan pengetahuan para dokter terhadap manfaat OPCR setelah menderita AMI.
Keterbatasan penelitian yaitu penelitian ini adalah analisa retrospektif dan jumlah pasien relatif sedikit. Kelompok prognosis resiko rendah merupakan resiko rendah dalam prognosis jangka pendek. Evaluasi yang lebih lama dalam jumlah pasien yang lebih banyak penting untuk meningkatkan power statistik untuk memperlihatkan manfaat program OPCR untuk prognosis jangka panjang.

Kesimpulan
Pasien AMI dengan prognosis resiko rendah memiliki prevalensi yang tinggi terhadap multiple CRF dibandingkan dengan pasien yang bukan resiko rendah. Partisipasi aktif dalam program OPCR berhubungan dengan perbaikan kapasitas latihan dan profil CRF pasien AMI dengan prognosis resiko rendah. Program OPCR efektif dalam mencapai tujuan pencegahan sekunder pada pasien AMI dengan prognosis resiko rendah.

Makalah Simposium PIT RESPINA 2006


WHY ITS NEEDED  ?
By.  dr. Deddy Tedjasukmana , SpKFR-K,MARS

INTRODUCTION
Postoperative pulmonary complications contribute significantly to overall perioperative morbidity and mortality rates. Pulmonary complications occur much more often than cardiac complications in patients undergoing elective surgery to the thorax and upper abdomen. The frequency rate of these complications varies from 5-70%. Postoperative pulmonary complications prolong the hospital stay by an average of 1-2 weeks. Postoperative pulmonary complication is defined as an abnormality that produces identifiable disease or dysfunction, is clinically significant, and adversely affects the clinical course. Complications may arise from atelectasis, infection (eg, bronchitis, pneumonia), prolonged mechanical ventilation and respiratory failure, exacerbation of an underlying chronic lung disease, and bronchospasm.
Several published studies include complications that have no clinical significance. However, recent studies define postoperative pulmonary complications as the events influencing outcome following surgery. These include complications either known to prolong the hospital stay or known to be responsible for morbidity and mortality.
Specialised skills of Rehabilitation Medicine is concern in respiratory assesment and treatment especially in pre and post operative,  assesment of functional capacity and identification of factors limiting  eg fatique, shortness of  breath, weakness, anxiety, ischemic pain, orthopedic limitation etc. Education of patients and cariers in exercise, prescription of individualised exercise program and early mobilisation in ward is important for patients after thoracic and upper abdominal surgery.

SURGERY AND THE RESPIRATORY MUSCLES
Respiratory muscles are the only skeletal muscles vital to life. Surgical procedures can affect the respiratory muscles by a number of pathophysiological mechanisms including thoracoabdominal mechanics, reflexes, neuromechanical coupling, and loss of muscular integrity. Impairment of respiratory muscle function after surgery may lead to postoperative complications such as hypoventilation, hypoxia, atelectasis, and infections, some of which may be life threatening.
The most important function of the respiratory muscles is breathing since they are the motor arm of the respiratory system. Breathing, a lifelong task, is borne mainly by the inspiratory muscles, especially the diaphragm. A second function of the respiratory muscles is to perform explosive manuvers such as coughing and vomiting. The respiratory muscles also have a role as stabilizers of the thorax and abdomen since they take part in the formation of the thoracic and abdominal walls.
A surgical incision of the chest or abdominal wall affects the integrity of the respiratory muscles and thus directly affects their function. It is well known that dysfunction of the respiratory muscles due to surgery may lead to a reduction in the vital capacity  and tidal volume, total lung capacity  and, thus, insufficient cough. This may cause atelectasis in the basal lung segments and a decrease in functional residual capacity which, in turn, affects the gas exchange properties of the lung by increasing the ventilation/perfusion mismatch.
The situation maybe further aggravated by hypoventilation due to several factors including sedation, pain, and increased mechanical load. As a result, hypoxia may ensue with a detrimental effect on the condition of the patient. In addition, atelectasis maybe a risk factor for pulmonary infections which have significant morbidity and mortality in this patient population. In severe cases these consequences of respiratory muscle impairment may lead to respiratory failure and death.

 

RISK FACTORS

·         Age

Despite early suggestions of an increased risk of pulmonary complications with advanced age, this is not an independent risk factor for pulmonary complications. In a study of patients older than 80 years, the overall 30-day mortality rate was 6.2% . Several other studies have shown that age is not a predictor for postoperative pulmonary complications; therefore, surgery should not be declined because of advanced age alone.

·         Obesity

Obesity decreases the expiratory reserve volume and functional residual capacity of lungs; morbid obesity causes restrictive lung disease, decreases thoracic compliance, and leads to alveolar hypoventilation. In severe cases, obesity is associated with pulmonary hypertension, cor pulmonale, and hypercapnic respiratory failure. Obesity causes a reduction in lung volume, ventilation-perfusion mismatch, and relative hypoxemia, which are accentuated after surgery. Obesity increases the risk of postoperative pulmonary complications and respiratory failure in patients undergoing abdominal surgery, but it may not be a risk factor in thoracic surgery.

·         General health status

Patients who have poor exercise capacity are at increased risk of developing postoperative pulmonary complications. In a study by Gerson et al in 1990, an inability to raise the heart rate with simple exercise predicted a pulmonary complication rate of 79%.

·         Smoking

Patients who currently smoke have a 2-fold increased risk of postoperative complications, even in the absence of COPD. The risk is highest in patients who smoked within the last 2 months. Patients who quit smoking for more than 6 months have a risk similar to those who do not smoke.  Warner et al prospectively investigated the role of preoperative smoking cessation on postoperative pulmonary complications in patients undergoing coronary artery bypass surgery. Those who currently smoked developed postoperative complications at a rate of 33%, compared with 57% for individuals who quit for less than 8 weeks. The complication rates were 11.9% in persons who never smoked and 14.5% in patients who had quit for more than 8 week

·         Chronic obstructive pulmonary disease

This is one of the most important risk factors. Patients with severe COPD (forced expiratory volume in 1 s [FEV1] <40% predicted) are 6 times more likely to have a major postoperative complication. Despite the increased risk, a prohibitive level of pulmonary function for an absolute contraindication is not apparent. The benefits of surgery must be weighed against these complications. A careful preoperative evaluation of patients with COPD should include identification of high-risk patients and aggressive treatment. Elective surgery should be deferred in patients who are symptomatic, have poor exercise capacity, or have acute exacerbation.

·         Asthma
Inadequate control of asthma preoperatively may increase the risk of postoperative complications. Optimal asthma control is defined as the absence of symptoms and an FEV 1 of more than 80% of predicted or personal best.

 

PROCEDURE-RELATED RISK FACTORS

Ø  Surgical site

The incidence of complications is inversely related to the distance of the surgical incision from the diaphragm. The complication rates for upper abdominal surgery range from 17-76%. For lower abdominal surgery, the rate is 0-5%. For thoracic surgery, the rate is 19-59%.

Ø  Duration of surgery

Patients undergoing procedures lasting longer than 3-4 hours have a higher incidence rate of pulmonary complications compared to those undergoing surgeries lasting shorter than 2 hours (40 vs 8%).

Ø  Type of anesthesia

Data are inconsistent about whether the complication rate is lower with spinal or epidural anesthesia compared to general anesthesia. A study published in 1984 (Celli, 1984) reported no difference in patients anesthetized with spinal or general anesthesia for abdominal surgery. A study of high-risk patients shows that the rate of respiratory failure is significantly higher with general anesthesia (Tarhan, 1973). Several other studies (Yeager, 1987; Pedersen, 1990) found high rates of respiratory failure and other postoperative complications in patients undergoing general anesthesia compared to spinal or epidural anesthesia. The spinal or epidural anesthesia is safe and should be considered in high-risk patients.

Ø  Keyhole surgery

These techniques use small incisions, and the reduced manipulation of visceral organs minimizes the adverse effects on respiratory muscles. Smaller incisions, performed without separation of the ribs and resulting in less postoperative pain, lead to early ambulation and reduced pulmonary complications.


PREOPERATIVE EVALUATION
à         History
Obtain a complete history and perform a complete physical examination to help identify risk factors. Seek any history of smoking, exercise intolerance, unexplained dyspnea, or cough. Note evidence of COPD, such as decreased breath sounds, wheezes, crackles, or a prolonged expiratory phase.
à        Pulmonary Function Tests
Several retrospective studies of routine preoperative pulmonary function test (PFT) results found only a marginal benefit in predicting postoperative complications in patients, other than those undergoing lung resection. Therefore, the results from PFTs should not be the sole reason to alter plans for necessary surgery. These could be used to identify high-risk patients for whom aggressive perioperative management is warranted. The American College of Physicians consensus statement suggests the following indications for preoperative PFTs: patients undergoing cardiac or upper abdominal surgery with a history of smoking or dyspnea, patients undergoing lower abdominal surgery if dyspnea or history of smoking indicates prolonged surgery, all patients undergoing lung resection, additionally, indications for preoperative PFTs have been suggested as follows: age older than 60 years, positive smoking history and presence of pulmonary diseases
à        Spirometry
Bedside spirometry is an often underused but extremely useful tool for objectively evaluating the respiratory status of patients preoperatively. Spirometry can be used to predict postoperative complications and to guide optimization of airflow obstruction in preparation for surgery. Gass and Olsen (1986) suggested high postoperative risk in patients who had an FEV1 of less than 70% predicted, an FVC of less than 70% predicted, and FEV1-to-FVC ratio of less than 65%.
 
à        Chest  Radiograph
Chest x-ray studies add little to the clinical evaluation in healthy patients. All patients older than 60 years or those with clinical findings of cardiac or pulmonary disease should have a preoperative chest x-ray film taken unless they had one in the last 6 months.
à        Exercise Testing
A comprehensive physiologic evaluation is dependent on the interaction among pulmonary function, cardiovascular function, and oxygen use. This may take the form of stair climbing or complete cardiopulmonary exercise testing.
Complete cardiopulmonary exercise testing may help identify patients who achieve a maximal oxygen consumption (VO2 max).  Expressing VO2 max as mL/kg may be more useful. A VO2 max of more than 20 mL/kg/min is associated with the fewest postoperative complications

 

Thoracic and upper abdominal surgery is associated with a reduction in vital capacity by 50% and functional residual capacity by 30%. Diaphragmatic dysfunction, postoperative pain, and splinting cause these changes. Following upper abdominal surgery, patients shift to a breathing pattern with which ribcage excursions and abdominal expiratory muscle activities increase. This shift is attributed to decreased central nervous system out put to the phrenic nerves, thus inhibiting diaphragmatic stimulation. A reflex mechanism arising from the sympathetic, vagal, or splanchnic receptors is thought to be responsible. In humans, this reflex inhibition is partially reversed by epidural anesthesia.
Following upper abdominal and thoracic surgery, patients maintain adequate minute volume, but the tidal volume is smaller and the respiratory rate increases (ie, rapid shallow breathing). These breathing patterns, along with the residual effects of anesthesia and postoperative narcotics, inhibit cough, impair mucociliary clearance, and contribute to the risk of postoperative pneumonia.

 1.   Lung expansion maneuvers
Patients who are unable to be frequently mobile in the ward and are at risk of developing atelectasis, should be encouraged to carry out regular thoracic expansion exercise preferably with an end inspiratory hold of afew second, regulary breathing exercise can be used .
The postoperative manouever of a 3 second hold at full inspiration has been said to decrease collaps of lung tissue. Thoracic expansion  exercise can be encoaraged with proprioceptive stimulation by placing a hand, either the patients or therapist, over the part of the chest wall  where movement of the chest is to be encouraged.
Beside deep breathing exercises, incentive spirometry appear to be equally effective, there are components of chest physical therapy and have been shown to reduce postoperative pulmonary complications following thoracic and upper abdominal surgery

2.   Pain control
Adequate postoperative pain control helps minimize pulmonary complications by encouraging earlier ambulation and performance of lung expansion maneuvers. Acut pain is a complex proces affected by the physiologicsl reaction of desease , as well as physiological and social factor. An individuals perception of  pain, may depen on his previous experience of pain as well as his current degree of control over his particular situation.
It is essential that pain relief is manage well , especially over the immediate post operative period  when the patientmay be spending more time in bed or chair than walking around the ward . If postoperative pain is not managed appropriately the following effects may occur increased anxiety,  increased heart rate and blood pressure, decreased movement therefore increased risk of deep pain thrombosis, and increased respiratory complication .
Rehabilitation medicine is concern with advise on positioning, moving and wound support, is also beneficial. Techniques which promote relaxation such as self hypnosis. Modality Trans electrical nerve stimulation (TENS) can be use for alternatively to medication.
3.   Mucus clearance 
Mucus hypersecretion is one of determinants of post operative pulmonary com-plikcations.  The proposed mechanisms for pathogenesis of post operative pulmonary  abnormalities have altered  litle since early 20 th century. There are still two basic  theories to explain their occurrence : regional hypoventilation and stasis of mucus. Regional hypoventilation there are several physiological factors that may contribute to alveolar closure, these relate to reductions in functional residual capacity. The consequences of the reduction in functional  residual capacity are reduced lung complience, altered surfactant proverty, impaired gas exchange, retension of lung secretion and atelectasis.
Stasis of mucus may be aresult of changes in the cardiorespiratory phisiology during the post operative periode. Leith and Bouros in research that effective cough is important for transfort and expectoration of lung mucus and essenstiale elements in the prevention and treatment of problem of mucus clearence is breathing exercice and manual control expiratory maneuvers.
Cough efficiency is thought to improve as mucus viscosity decrease and periciliary fluid increase . Nebulized have been shown to accelerate mucociliary clearence, this effect is usually attributed  to rheological alteration in the sputum allowing improved transfortation by the cilia.
4.   Prevention of thromboembolism
Prevention of deep venous thrombosis  is important for all major surgeries .Risk is also high in elderly persons . Exercise training has been shown to increase blood flow to the lower extremity, other possible mechanisms for improvement include redistribution of blood flow  to prevent thromboembolism .
5.   Early mobilitation
With the development of surgery many patients are often able to mobilize indefendently from  a very early stage postoperatively. Some patients will requare assistence because of the presence of the various drips and drains and it is sometimes safer to have assisting for the first stand or walk if the patients general fatique and the risk of postural  hypotension.
Advice on optimum and regular change of position while the patient in bed  is essensial for patients in the early  stages of recovery. Suitable seating at a height appropriate to the individual can also improve patient independence, particulrly for those patients after thoracic and upper abdomonal surgery who find it difficult to move from sitting in alow chair to standing but are fully indefendence once up on their feet. Walking short distance can begining around bed and than walk slowly  in hall.

SUMMARY
Surgery may affect the function of respiratory muccle in a number of ways. Some types of surgical procedure adversely influence respiratory muscle function while others have a favourable effect.
Preoperative respiratory mucle training may prevent post operative pulmonary complications by increasing both inspiratory and expiratory muscle strength in patients undergoing thoracic and upper abdominal surgery.
The following post operative measures help minimize pulmonary complication in at-risk patients eg measure to improve vital capacity, deep breathing and couging, adequate pain control, bronchodilators etc.
During the postoperative period and depending on the type of surgery performed, deep breathing exercise, lung expansion maneuver, mucus clearence with effective cough may be used to prevent complications. Finally early mobilisation is main factors contributing normaly funtion every patients post operative prosedure.
 
REFERENCES :
1.      Ridley SC,  Surgery for adults , In : Pryor JA, Webber BA. Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems , 2nd  ed, Churchill Livingstone, Edinburg London, 1998, p 295 -325
2.      Mineo TC et al, Impact of lung volume reduction surgery versus rehabilitation on quality of life , J European Respiratory, 2004, p275 – 280 .
3.      Rudra K , Post operative pulmonary complications , J Indian Anaesth, 2006. 50( 2 ),p 89 – 98 .
4.      Suzanne CL et al, Pulmonary Rehabilitation, American J. of Respiratory and Critical care Medicine, vol159, 1999, p 1665 – 77 .
5.      American Assosiation of  Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation, Patien Training, 2 ed , Human kinetics, Champaign II, 1998 .
6.      Sat Sharma , perioperative pulmonary management, J Cardio Thoracic Society, 2994, p 2 – 11
7.      Dales PE, Pre-operative prediction of pulmonary complication following thoracic surgery , Chest, 1993, 104 ( 1 ) , p 155-9.
8.      Paur Rock  MD, Evaluation and Peri-operative management of the patient with respiratory disease, J New England Med, vol 253, p 1 – 6 .
9.      Kraunke K, Post operative complications after thoracic and mayor abdominal surgery in patien with respiratory disease, Chest, 1993, p 1445 – 51
10.  Warner D, Preventing post operativepulmonary complications, J. Anesthesiology , 2004, p 1467 – 72
11.  Gerson MC et al, Prediction of cardiac and pulmonary complications related to elective abdominal and non cardiothoracic surgery, Am J Med , 1990, p 101 – 7 .
12.  Nomori H, Pre operative respiratory muscle training , assesment in thoracic surgery Patients with special reference to post operative pulmonary complication , Chest 1994, p 1782 – 88